Sabtu, 28 Desember 2013

perlawanan Rakyat Indonesia Mengahadapi kolonialisme


PERLAWANAN DIPONEGORO ( 1825 – 1830 ) MENGHADAPI KOLONIALISME
            Perang  Jawa  ini disebut Perang Diponegoro karena perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro  yang merupakan anak dari Hamengkubuwono III. Perang ini terjadi dua kali periode yaitu tahun 1825 – 1826  kemudian 1827- 1830. Wilayah perperangan terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. keadaan masyarakat pada masa itu sangat memprihatikankan dan sehinggan  pengikut Pangeran Diponegoro bertambah banyak.
1.      Latar Belakang terjadinya Perang
            Perang  Diponegoro terjadi disebabkan karena  Kondisi rakyat Jawa pada masa itu sangat memprihatikan karena Pemerintahan Hindia Belanda memberlakukan Pajak yang sangat menyiksa bagi rakyat. Dan Van der Capelen memintak agar sewa untuk partiklir dihentikan para bangsawan yang biasa menyewakan tanahnya  kehilangan sumber pendapatan  disamping itu juga harus mengembalikan uang muka yang telah dibayar oleh penyewa – penyewa Cina dan Eropa  ( yang telah habis dibelanjakan ) dan juga menganti rugi kepada mereka atas berbagai perbaikan yang mereka lakukan ditanah – tanah tersebut sehingga hal ini  ang menyebabkan bangsawan rugi . Dan juga ketidak sukaan rakyat Jawa terutamaa Pangeran Diponegoro terhadap Pemerintahan Hindia Belanda, karena Hindia Belanda terlalu ikut campur didalam permasalahn internal kraton terutama dalam pergantian raja di Yokyakarta dan Korupsi yang merajalela dikalangan istana . Sebab lainya yang meledakan perang adalah Provokasi yang dilakukan oleh Hindia Belanda yang merencanakan pembuatan jalan  yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa memberi tahu terlebih dahulu hal ini dianggap suatu tindakan pemerasan.
            Dalam situasi seperti ini munculah perlawanan melawan terhadap  Hindia Belanda yaitu Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin perang dan dibantu oleh pangeran – pangeran yang ada didaerah Jawa yang tidak suka terhadap pemerintahan Hindia Belanda di Jawa.





2.      Narasi Perang
            Perang ini terjadi dua periode yaitu :
A.    Periode 1825- 1826.
            Perang Diponegoro dimulai karena sebuah jalan yang akan dibuat  oleh pemerintahan Hindia Belanda  didesa Tegalrejo  yang melalui tanah makam leluhurnya Pangeran Diponegoro yang terjadi pada bulan mei 1825. Disana  terjadi perseteruan  antara pengikut Diponegoro  dengan  Hindia Belanda atau orang – orang (Patih Danureja IV  )  ketika terjadi patokan – patokan untuk jalan raya yang kemudian dipancang. Sesudah itu berlangsung  ketegangan 20 Juli 1825 yaitu pihak Belanda mengirim serdadu – serdadunya dari Yokyakarta untuk menangkap Pangeran Diponegoro. sehingga terjadi pertempuran terbuka  dimana Tegalrejo direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro dengan Mangkhubumi berhasilkan meloloskan diri dengan mengibarkan Panji perang  Jawa  tahun 1825. Markas utama Diponegoro adalah di selarong yang terletak disebelah barat Yokyakarta.
            Diponogoro mendapatkan bantuan dari adiknya yaitu Adinegoro yang menyusulnya ke Selarong dan membawa 200 prajurit, kemudian Adinegoro di angkat menjadi patih yang bergelar Suryenglogo. Pemberontakan tersebar dengan cepat diseluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. 15 dari 29 Pangeran ikut bergabung dan 41 dari 88 bupati juga ikut bergabung sedangkan Surakarta tetap menjaga jarak  tetapi mereka akan memihak pihak pemberontak jika Diponegoro berhasil mengalah Hindia Belanda. Dan didalam Perang ini komunitas agama bergabung dengan Pangeran Diponegoro yaitu Kayai Maja  ( pemimpin Spritual  pemberontakan tersebut )
            Insiden ini di ketahui oleh Van De Capellen sehinga ia mengirim Letnan Jendral Henrik Marcus De Kock  ke S,urakarta ternyata surakarta memihak balanda.  Akibat yang di lakukan oleh Belanda di Tegalrejo membuat Dipenogoro mulai meningkatkan peperangan, permulaan perang dimana pasukan Diponogoro barhasil merebut daerah Pacitan tanggal 6 Agustus dan Powordadi 28 Agustus tahun 1825. Pada waktu perang kekuatan militer Belanda tidak begitu besar sehingga tidak bisa menandingi kekuatan Pasukan Diponegoro. Daerah pertempuran semakin lama semakin meluas didaerah Kedu terjadi pertempuran sengit tepatnya di Desa Dinoyo. Disini pasukan Diponegoro menghadapi pasukan lawan yang besar (gabungan pasukan Belanda dan Temunggung Danunigrat) hal ini membuat Seconegoro dan Kaertonegoro meminta bantun ke Selarong. Dari Selarong dikirim prajurit Bulkiya yang dipimpin oleh Haji Usman Ali Basah dan Haji Abdul Kadir dengan ini akhirnya pasukan Belanda di daerah Kedu dapat dipukul mundur dan Tumenggung Danuningrat tewas. Sedangkan pasukan Bulkiya berhasil merampas beberapa pucuk senapan dan meriam serta pelurunya.
            Dalam pertempuran di Semarang Pangeran Serang berhadapan dengan Belanda, dari pihak Belanda Jenderal De Kock mengarahkan semua kekuatan pasukan Belanda dengan opsir-opsir Belanda yang berada di luar Jawa ditarik semuanya ke Jawa. Kemudian Jenderal Van Geen yang bertugas di Bone tiba di Semarang. Jederal ini kemudian ditugaskan untuk menumpas perlawanan di Semarang, dan Semarang akhirnya jatuh ke tangan Belanda dan pangeran Serang melarikan diri ke daerah Sukowati. Kemudian di daerah ini pangeran Serang juga tetap mengadakan perlawanan bersama dengan Tumenggung Kartodirjo, tetapi dengan adanya perlawanan sangat keras di pihak Belanda mengakibatkan daerah ini juga jatuh ketangan Belanda.  Pangeran Serang berhasil melariakn diri sampai ke Madiun, di madiun juga berhasil dikalahkan Belanda.
            Peralawan yang terjadi di berbagai daerah  yang mengakibatkan Belanda sulit untuk menyerbu markas besar Diponegoro yang ada Serang.
Setelah kekalahan-kekalahan yang terjadi dibeberapa daerah Dipenogoro mengangkat pimpinan untuk memeperkuat barisan yang dipimpin oleh Raden Dullah Prawirodijo (Sentot),kemudian prajurit Surojo dipimpin oleh Abu Sungep sedangkan pimpinan Bulkya dipimpin oleh Haji Muh. Sedangkan prajurit Matiderejo yang dipimpin oleh Putut Lawa yang bertugas untuk melindungi pangeran Diponegoro. Peperangan terus berlanjut dimana daerah Gunung Kidul yang dipimpin oleh Pangeran Singosari jatuh ketangan Belanda.pangeran singosari mundur dan bergabung dengan syeh Dullah kaji Muda di Imogiri. Perlawanan sengit yang terjadi disana yang berhasil memukul mundur Belanda. Sedangkan Pasukan Diponegoro berhasil memukul mundur Belanda di benteng Belanda di Prambanan.
             Tahun 1826 Di daerah Pleret pasukan Diponegoro cukup kuat yang di pimpin oleh Kertopengalasan sehingga dia mendapat serangan dari duak kali dari  pihak belanda namun masih bisa dipertahankan. sedangkan ditempat lain Sentot Ali Basyah berhasil melakukan penyergapan terhadap Belanda di kasuran. Dan juga pertempuran sengit terjadi bulan juli 1826 didekat Lekong yang membawa akibat tewasnya wali dari Sultan Hamengkubuwono V sementara didaerah Delanggu pasukan Diponegoro berhasil mendesak musuh.




B.     Periode 1827-1830.
            Kesulitan-kesulitan selama periode perang tahun 1825-1826 mendorong pimpinan militer Belanda untuk menggunakan siasat baru yang dikenal dengan Benteng Stelsel disebut dengan sistem benteng. sistem ini dimulai oleh Jendral De Kock yang mempunyai tujuan untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan cara mendirikan benteng-benteng didaerah yang diduduki oleh Belanda. tujuan ini sebenarnya untuk memberikan tekanan terhadap Pangeran Diponegoro untuk menghentikan perlawanan, namun hal ini sia – sia tetap saja Pangeran Diponegoro tidak terbujuk. Kemudian cara lain yang digunakan oleh Belanda yaitu dengan perundingan tanggal 23 Agustus 1827 di Cirian (Klaten) dalam perundingan ini pihak dari Diponegoro di wakili oleh Kiyai Maja dan Ngabei Abdul Rahman namun usaha ini tidak berhasil.  hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan dengan giat tetapi disisi lain pasukan diponegoro lebih lemah karena pimpinan-pimpinan pasukan banyak di tangkap oleh Belanda. kemudian Belanda mengadakan perundingan lagi tanggal 10 oktober 1827 dan Pangeran Diponegoro mengirim utusannya yaitu Tumenggung Mangkuprawiro perundingan ini mengalami kegagalan karena Pangeran Diponegoro tidak mau menyerah hal inilah yang menyebabkan terjadinya perlawanan lagi.
            Markas diponegoro yang berada di banyumeneng diserang lagi oleh Belanda sebaliknya Pasukan Diponegoro melakukan penyerangan-penyerangan balik di pos-poss Belanda. Rakyat Rembang yang di pimpin oleh Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo melakukan perlawanan terhadap Belanda Di Rajekwesi. Sebuah pasukan rakyat yang memihak Diponegoro pada tanggal 15 Desember 1827 berhasil menduduki Padangan dan selanjut bergerak ke Kota Ngawi.
            Didaerah Tuban perlawanan rakyat 16 Desember 1827 cukup berat bagi Belanda sehingga untuk menghadapinya, Belanda terpaksa mendatangkan bantuan dari daerah lain. Baru pada tanggal 7 Maret 1828 Perlawanan rakyat Rembang dapat dipatahkan. Dikota Mangelang yang terletak ditengah – tengah wilayah  perang, oleh De Kock dijadikan pusat kekuatan milternya (  yang terdiri dari pasukan – pasukan sultan, Pakualam dan Mangkunegoro) yang digunakan untuk menghalangi gerakan pasukan inti Diponegoro kearah timur. Sedangkan Pasukan Belanda yang bermarkas Dimangelang digunkakan untuk menutup jalan yang menghubungan daerah opersi Dipenogoro di Yokyakrta dengan daerah – daerah disebelah Utara dan Barat.
            Bupati – bupati daerah yang memihak Belanda cukup menyulitkan hubungan pasukan – pasukan Dipenogoro dari daerah yang satu ke dearah yang lain. Perlawan didaerah – daerah manjadi terpisah satu sama lain sehingga sulit diadakan koordinasi.

3.      Akhir Perang
            Bertambahnya kekuatan Belanda yang mendapat pertolongan dari sekutu – sekutunya  yang membuat pasukan Diponegoro semakin terdesak  diberbagai medan pertempuran  dan juga Belanda selalu membujuk  pemimpin – pemimpin  tanguh pasukan Diponegoro agar menyerah. Natodinigrat, Ari Papak, Sosrodiligo, Kyai Mojo dan masih banyak pemimpin pasukan lainya yang menyerahkan diri kepada Belanda. Hal inilah yang menyebabkan lemahnya pasukan Diponegoro.  Belanda juga memaksa  Pangeran Diponegoro  menghentikan perlawanan kalau tidak anaknya Pangeran Anom akan dibunuh. Sedangkan Pasukan Sentot masih gemar – gemarnya melakukan penyerangan terhadap Belanda sehingga Belanda mundur ketepi sungai Progo. Belanda selalu berupaya mendekati Sentot namun selalu gagal. Cara lain yang digunakan oleh Belanda adalah menggunakan Pangeran Ario Prawirodningrat ( bupati Madium) yang masih kerabat dengan Sentot sendiri. Akhirnya Sentot meyerah dan berdamai dalam perjajian Imogiri 17 Oktober 1929 . Bagi Diponegoro dengan menyerahnya Sentot merupakan pukulan yang sangat berat sedangkan Pengeran Joyokusumo  sebagai ahli taktik juga sudah meninggal. Sehingga merosotnya kekuatan pasukan Diponegoro semakin jelas karena orang yang berperan didalam melakukan penyerangan banyak yang menyerah kepada Belanda.
            Usaha lain yang dilakukan Belanda ntuk mempercepat perang dengan cara pemberian hadia bagi siapa yang berhasil menangkap Pangeran Diponegoro akan dibayar 20.000 Ringit. Namun hal ini tidak berhasil sehigga Belanda mencari cara lain  jalan lain Yaitu Klonel Cleerens berusaha membujuk pangeran diponegoro dan mengadakan pertemuan dengan Pangeran Diponegoro didesa Romo Kalam 16 Februari 1830. Dan perundinagn selanjutnya didaerah Kecawang sesudah itu baru Dimangelang . Kepercayaan  Pangeran Diponegoro terhadap kolonel Cleerens  tanggal 21 Februari 1830 ia sampai di Bukit Menoreh dan tanggal 8 maret mamasuki kota Mangelang.
            Jendaral De Kock yang mengetahui hal ini langsung secara diam – diam membuat rencana untuk melakukan penangkapan apabila perjanjiaan tersebut gagal. Ternyata memang perjanjian tersebut gagal dan Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap di rumah Residen Kedu  yang menjadi tempat perundingan  tepatny  pada tanggal 28 Maret 1830. Pangeran Diponegoro di asingkan ke Manando  dan pada tahun 1834 Pangeran Dipenogoro dipandahkan ke Ujuang Pandang disinilah Pangeran Diponegoro maninggal sampai tahun 1855. Dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro membuat pasukan Dipenogoro semakin lemah dan akhirnya perlawanan  tidak berarti lagi.

4.      Akibat Perang Diponegoro
            Bagi masyarakat Jawa sendiri. Perang Dipenogoro merupaka perang  terbesar yang menghabiskan ribuan nyawa masyarakat Jawa  pada masa itu. sedangkan kerajaan Yokyakarta yang selalu di anggap sebagai timbulnya bahaya bagi Belanda terus diperlemah kedudukannya  dan  daerah – daerah yang penting kedudukanya seperti kedu, banyumas di ambil oleh Belanda. Daerah wilayah Yokyakarta semaki kecil dan sempit wilayahnya dan semakin lemah pulalah kekuasaan Yokyakarta. Kediri dan Madium yang merupakan wilayah Sala di ambil oleh Belanda.
            Bagi belanda akibat dari perang ini adalah kerugian yang sangat besar terhadap Belanda dan kekosongan khas Hindia Beanda akibat Perang ini yang berkisar sebesar 20 juta rupiah Belanda. Dan Belanda kehilangan serdadu eropa sebanyak 8.000 orang sedangkan serdadu jawa 7.000 orang.
















KESIMPULAN

            Perang Diponegoro ini dimulai  karena ketidak sukaan pemerintah Hindia Belanda yang bertindak sewenang – wenang  terhadap rakyat. Dan sebab yang memicu terjadi perang karena tanah leluhur Pangeran Diponegiro  dipatok oleh Hindia Belanda untuk dibuatkan jalan. Sehingga terjadi  permasalahn antara rakyat diTegalrejo dengan pasukan – pasukan Hindia Belanda yang dan bantu oleh kesultana Yokykarta dibawah kekuasaan Adipati Danurejo. Terjadilah pertempuran anara rakyat dengan pasukan Hindia Belanda yang mengakibat Puri dan Mesjid DiTegalrejo habis terbakar kemudian pergolokan lain terjadi diseluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pasukan Diponrgoro sangat tanguh sehingga pasukan Hindia Belanda tidak bisa mengempung markas Diponegoro. Kemudian  Hindia Belanda menghalalkan segala cara untuk membujuk Pangeran Diponegoro ternyata selalu gagal. Sehingga terjadi perlwanan lagi kedua kalinya yang pada masa itu banyak pemimpin – pemimpin pasukan di tangkap oleh lawan. Yang mengakibatkan Pangeran Diponegoro mau berundiang, tetapi kesepakatan akhir tetap gagal. Kemuadian Pengeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Manado sesudah tahun 1834 dipindahkan ke Ujung Pandang. 

Daftar Bacaan :
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Noto S. 1984. Sejarah Nasional Jilid   VI.Jakarta : balai Pustaka
Dekker,Nyman.1975.Sejarah Indonesia dalam Abad XIX.YPTP Ikip Malang : Amamater
Ricklees. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar